Google info dan internet online

19 Mei 2012

Protes Abu Hurairah terhadap orang-orang yang menyalahkannya postheadericon

Diposting oleh cerdas alquran | Pada 19.19

Abu Hurairah biasanya memprotes terhadap orang-orang yang mendustakannya atau mencari kesalahannya. Dia berkata: Orang ramai berkata bahwa Abu Hurairah terlalu banyak menyampaikan riwayat, hanya kepada Allahlah tempat kembali. Mereka juga mengatakan bahwa golongan Muhajir dan Ansar tidak meriwayatkan seperti mana dirinya. Apa yang pasti saudara-saudaraku di kalangan Muhajirin biasanya menghabiskan masa berjualbeli di pasar manakala saudara-saudaraku di kalangan Ansar pula melibatkan diri dalam hartabenda mereka. Di pihak yang lain pula, aku tidak punya apa-apa dan senitasa bersama-sama Nabi (s.‘a.w)  sekadar untuk mengisi perutku. Oleh itu, aku hadir sedangkan mereka pula tidak hadir dan aku menghafal sedangkan mereka pula terlupa, dan pada suatu hari Nabi (s.‘a.w) bersabda: “ Tidak ada seorang pun di antaramu harus menggulungkan kainnya sehingga aku menghabiskan ucapanku ini kemudian dia hendaklah menyimpannya dalam dadanya agar dia lupa segala kata-kataku itu.” Justeru aku membentangkan pakaian bercorak karena aku tidak mempunyai pakaian lain sehinggalah  Nabi (s.‘a.w) selesai mengucapkan kata-katanya, kemudian aku menyimpannya dalam dadaku. Lantaran itu, demi Dia yang mengutuskannya dengan kebenaran, aku tidak lupa segala sesuatu dari kata-katanya sehingga ke hari ini. Demi Allah, bagaimanapun bagi dua ayat al-Qur’an aku tidak akan sekali-kali menceritakan sesuatu kepadamu, yaitu:

“ Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”   

    Apa yang pasti, Abu Hurairah terpaksa memperlihatkan hadith ini untuk menentang orang-orang yang mendustakannya dalam kedua-dua perkara berkaitan bilangan hadith dan juga kandungan (kualiti) hadith tersebut. Namun apa yang jelas ini merupakan hadith palsu yang paling buruk dan jauh menyimpang dari kebenaran. Tidaklah perlu ia diberikan perhatian sama sekali namun pada hakikatnya kedua-dua orang tokoh hadith besar telah memasukkannya sebagai hadith yang sahih dengan senang hati, begitu jelas sekali berdasarkan kepada pegangan mereka yang menganggap baik tentang sahabat secara keseluruhan walaupun dengan melakukan demikian, mereka jelas sekali berlawanan dengan logic dan bahkan keadilan itu sendiri. Terdapat beberapa perkara pokok untuk menggolongkan hadith itu sebagai hadith palsu:

    Pertama: Abu Hurairah mengandaikan bahwa jual dan beli di pasar menjauhkan golongan Muhajirin dari Nabi (s.‘a.w) sementara penglibatan golongan Ansar pula dalam urusan hartabenda mereka menjadikan mereka berada dalam keadaan seperti itu juga. Namun demikian, apakah pula nilai pendapat ini di hadapan ayat al-Qur’an yang cukup jelas dan ketara ini yang menyebutkan:

“ Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jualbeli dari mengingati Allah.”

Malang sekali kenyataan yang sengaja diada-adakan bahwa Abu Hurairah mengatakan dia biasanya tetap bersama-sama di sisi Nabi (s.‘a.w) ketika ketua dan pemimpin lain tidak hadir, dan dia mengatakan demikian tanpa sedikit pun penyesalan atau sanggahan karena pastinya, dia melakukannya pada zaman Mu‘awiyah ketika pada masa itu, ‘Umar, ‘Uthman, ‘Ali (‘a.s), Talhah, Zubair, Salman, ‘Ammar, Miqdad, Abu Dhar dan lain-lain dari kalangan kelompok tersebut telah tidak ada lagi. Sememangnya dia telah mengatakan sesuatu yang besar. Alangkah jauhnya persoalan tersebut dari reality? Orang ramai sudah sedia mengetahui perhubungan di antara kedudukan ‘Ali (‘a.s)  dengan Nabi (s.‘a.w) yaitu hubungan darahnya, keluarbiasaannya, sentiasa bersama-sama dengan Nabi (s.‘a.w) dalam ketenteraan semenjak masih kanak-kanak, Nabi (s.‘a.w) mendakapkannya ke dadanya, menempatkannya di tempat tidurnya agar menyentuhi tubuhnya supaya ‘Ali (‘a.s) dapat menciumi bauan kenabiannya, dan Nabi (s.‘a.w) biasanya mengunyahkan sesuatu lalu memberi ‘Ali (‘a.s) makan. Justeru, tidak ditemui sebarang bentuk pendustaan dalam kata-katanya atau kekurangan dalam perbuatannya. Allah juga telah menempatkan ‘Ali (‘a.s) dari segi akhlak dan budi pekerti yang hampir sama dengan Nabi (s.‘a.w), sementara ‘Ali (‘a.s) pula biasanya mengikuti Nabi (s.‘a.w) seperti seekor anak unta mengikuti langkah ibunya. Nabi (s.‘a.w) pada setiap hari mengangkat kedudukannya semakin lama semakin tinggi dalam ilmu dan akhlak, dengan memerintahkannya mengikuti jejak langkahnya. Pada masa-masa tersebut, hanya terdapat dua orang saja yaitu ‘Ali (‘a.s) dan Umm al-Mu’minin Khadijah sentiasa berada bersama-sama dengan Rasulullah (s.‘a.w). Justeru itu, ‘Ali (‘a.s) menyaksikan cahaya wahyu  dan menciumi haruman kenabian baginda. Sebagai tambahan kepada keistimewaan-keistimewaan tersebut, beliau juga merupakan pintu ilmu Rasulullah (s.‘a.w), pemberi hukum yang terbaik di kalangan manusia muslim, penyimpan rahsia Rasulullah (s.‘a.w), pewaris kekuasaan baginda, pengganti kepimpinan baginda, pengelak segala kebimbangan Nabi (s.‘a.w), pemilik pendengaran yang sentiasa sedar, pemilik khazanah ilmu dalam kitab Allah. Adakah mungkin orang yang mempunyai keperibadian seperti ini  melupakan sebarang perbuatan atau perkataan Rasulullah (s.‘a.w.)  yang dikatakan dipelihara oleh Abu Hurairah dalam ingatannya, ataupun beliau menyembunyikan segala sesuatu sedankan Abu Hurairah pula mendedahkannya. Sesungguhnya ini merupakan tuduhan yang amat berat.

Lanjutan dari itu juga, di kalangan golongan Muhajirin, hanya terdapat sedikit saja bilangan orang yang melibatkan diri dalam jualbeli di pasar. Sebagai contoh, mereka ialah Abu Dhar, Miqdad, ‘Ammar dan 70 orang ahli Suffah yang merupakan sahabat Abu Hurairah dan seperti yang telah disebutkannya, tidak pernah memiliki sehelai kain pun pada diri mereka sedangkan dia sendiri memiliki kedua-duanya, kain cawat dan juga selimut. Bagaimana mungkin dapat diterima akal kebanyakan mereka tidak meriwayatkan hadith-hadith sampai ke tahap seperti Abu Hurairah lakukan atau sampai ke tahap keterlaluan sama seperti yang dilakukan Abu Hurairah. Sebenarnya, jumlah keseluruhan hadith mereka jauh lebih sedikit berbanding hadith-hadith yang secara khusus diriwayatkan Abu Hurairah seorang diri.

Keadaan yang sama juga berlaku kepada golongan Ansar. Kebanyakan mereka bukanlah orang berada dan berharta, seperti Abu Hurairah andaikan itu. Di kalangan mereka ada yang langsung tidak memiliki apa-apa seperti Salman al-Farisi yang dikatakan oleh Rasulullah (s.‘a.w): “ Salman ialah dari kami, Ahl al-Bait,” dan telah dicatatkan mengenainya dalam kitab al-Isti‘ab, bahwa Nabi (s.‘a.w) bersabda: “ Sekiranya agama itu berada di bintang Surayya, Salman akan dapat mencapainya.” Sementara itu sekali lagi dalam kitab al-Isti‘ab, ‘A’isyah mengatakan sesuatu mengenainya: “ Pada suatu malam Nabi (s.‘a.w) mengizinkan Salman seorang diri mendengarnya sedemikian lama hingga dibimbangi dia mungkin mengatasi yang lain.” Selanjutnya, menurut kitab al-Isti‘ab lagi, ‘Ali (‘a.s) mengatakan sesuatu mengenai dirinya: “ Pasti, Salman seumpama Luqman al-Hakim karena dia memiliki keilmuan masa silam dan masa depan. Dia merupakan lautan ilmu yang tidak pernah ketandusan.” Berhubung dengan dirinya juga, Ka‘b al-Ahbar mengatakan seperti yang dicatatkan dalam kitab al-Isti‘ab: “ Salman penuh dengan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan…..” dan orang ramai sudah sedia mengetahui bahwa Abu Ayyub al-Ansari tidak memiliki sebarang harta duniawi, kecuali sepasang selipar, untuk menjauhkannya dari ilmu atau perbuatan-perbuatan yang saleh. Kedudukan yang sama  terdapat pada diri Abu Sa‘id al-Khudri, Abu Fadl al-Ansari dan tokoh-tokoh lain seumpama mereka yang kesemuanya di kenali termasuk di kalangan tokoh ilmuan dan pemimpin golongan Ansar.

    Perlu juga diingat bahwa masa Nabi (s.‘a.w) bukanlah dihabiskan begitu saja, tetapi setiap masa baginda, sama ada siang atau malam diperuntukkan untuk perkara-perkara tertentu dengan teratur. Oleh itu, untuk tujuan menyampaikan ilmu baginda telah tetapkan masa tertentu yang tidak bertembung dengan urusan berjualbeli di pasar ataupun masa-masa melibatkan urusan hartabenda. Dengan demikian, golongan Muhajirin dan juga Ansar tidak pernah menggagalkan diri untuk hadir pada masa itu karena mereka benar-benar memerlukan ilmu bukan seperti yang dibayangkan oleh orang-orang yang berfikiran cetek.

    Kedua, sekiranya Nabi (s.‘a.w) mengatakan sesuatu kepada para sahabatnya bahwa sesiapa yang membentangkan kain mereka sehingga selesai kata-kataku dan sebagainya …. Adalah benar, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Abu Hurairah, sudah tentulah mereka akan melompat ke atasnya dengan penuh semangat, karena penghormatan tidak boleh diperolehi semata-mata dengan melakukan perjalanan atau ilmu boleh dijamin hanya dengan menghabiskan wang. Lebih dari itu, apakah yang ada di sana untuk menghalangi  mereka dari mencapainya atau menghentikan mereka dari membentangkan kain mereka untuk mengejarnya?  Kenapakah mereka mengelakkan diri dari melakukan demikian karena ia samalah seperti menjauhkan diri dari mencari ilmu dan menyembunyikan sesuatu  yang Nabi (s.‘a.w) mengajak mereka kepadanya. Sudah pasti, ia bukanlah demikian dan kita tidak dapat fikirkan demikian mengenai mereka, khususnya karena mereka semua memang bersemangat mengikuti perintah Rasulullah (s.‘a.w)  dan mengejar apa saja yang baginda seru kepadanya.

    Ketiga,  sekiranya riwayat Abu Hurairah itu memang benar, para sahabat sewajarnya bertaubat dan menyesal dengan begitu sekali karena mencuaikan diri untuk mencapai kemuliaan yang sangat besar dan memperolehi ilmu yang begitu banyak. Kekecewaan mereka akan berpanjangan karena kegagalan membentangkan kain mereka kepada Nabi (s.‘a.w)   walaupun tiada masalah atau usaha diperlukan untuk melakukannya. Sebenarnya mereka sudah sepatutnya mempersalahkan satu sama lain dan meletakkan kesalahan kepada satu sama lain karena memilih untuk tidak melakukannya. Pada masa yang sama, mereka sepatutnya merasa cemburu terhadap Abu Hurairah karena kejayaannya mengatasi mereka biarpun sebenarnya dia hanya mempunyai sehelai kain saja sementara tiada seorang pun di kalangan mereka yang memiliki dua helai kain atau lebih. Oleh karena kita tidak pernah bertembung dengan sesuatu seperti itu, ia menunjukkan dengan jelas bahwa seluruh cerita atau riwayat ini merupakan cerita rekaan Abu Hurairah.

    Keempat,  sekiranya benar apa yang diceritakan oleh Abu Hurairah, orang lain yang Nabi (s.‘a.w) turut sampaikan kata-kata baginda dalam kejadian membentangkan kain mereka itu harus turut menyampaikan riwayat tersebut. Sebenarnya mereka patut menganggap cerita itu sebagai salah satu tanda kenabian, lambing kemuliaan Islam dan bukti yang menyokong agama itu. Cerita atau riwayat mengenainya tentulah tetap berlanjutan dan mereka pasti menjadikannya terang benderang seumpama matahari di siang hari. Oleh karena perkara itu tidak pernah wujud, kita hanya dapat menganggapkannya sebagai rekaan Abu Hurairah.

    Kelima, terdapat kepelbagaian dalam riwayat tentang kejadian ini oleh Abu Hurairah sendiri. Menurut keterangan A‘raj yang kelihatan dalam Sahih al-Bukhari,  Abu Hurairah meriwayatkan bahwa  Nabi (s.‘a.w) bersabda pada suatu hari kepada para sahabat baginda: “ Tidak wajar bagi setiap seorang dari kamu membentangkan kainnya sehingga kata-kataku ini berakhir dan kemudian membungkuskanya ke arah dadanya agar dia tidak lupa sesuatu dari kata-kataku itu.” Justeru, aku membentangkan kain bercorakku karena aku tidak mempunyai kain yang lain selain darinya sehingga Nabi (s.‘a.w) mengakhiri kata-kata baginda dan aku membungkuskannya ke dadaku. Demi Dia yang mengutuskannya dengan kebenaran, sampai ke hari ini aku tidak lupa sesuatu dari kata-kata baginda itu.

    Di tempat yang lain pula seperti dicatatkan oleh al-Maqbari, dia meriwayatkannya seperti berikut:  Aku berkata, wahai Rasulullah (s.‘a.w), aku mendengar sebuah hadith darimu dan aku terlupa mengenainya.” Kata baginda: “ Bentangkan kain selimutmu.” Kemudian dia gerakkan tangan di atasnya, lalu berkata: “ Bungkuskanlah.” Aku membungkuskannya, dan  selepas dari itu aku tidak lagi terlupa.

    Kini, menurut bentuk riwayat yang diberitahu oleh A‘raj, perkara itu berlaku di antara Nabi (s.‘a.w) dan para sahabatnya menunjukkan bahwa Nabi (s.‘a.w) memanggil semua sahabat agar membentangkan pakaian mereka sebagai suatu pemahaman tentang sifat terlupa mereka, sedangkan dalam bentuk riwayat yang lain dicatatkan menerusi al-Maqbari, perkara itu berlaku di antara Abu Hurairah sebagai seorang darinya dan Nabi (s.‘a.w) menunjukkan bahwa Abu Hurairah mengadu kepada Nabi (s.‘a.w) tentang sifat pelupanya. Selanjutnya, bentuk  riwayat yang lain menerusi A‘raj merujuk kepada tidak melupakan ucapan kata-kata Nabi (s.‘a.w) manakala bentuk riwayat yang dicatatkan menerusi al-Maqbari merujuk kepada bebas dari sifat pelupa secara umumnya, yaitu setiap perkara sama ada ia merupakan hadith atau sesuatu yang lain.

    Masih ada satu lagi bentuk riwayat hadith ini. Muslim telah menceritakan dalam Sahihnya,  dari Ibn Musayyab di mana Abu Hurairah dikatakan telah mengatakan: “ Selepas hari itu aku tidak lagi terlupa sesuatu yang Nabi (s.‘a.w) ceritakan kepadaku.” Bentuk riwayat ini menerangkan keadaan lebih bebas dari sifat pelupa berbanding dengan bentuk riwayat menerusi A‘raj tetapi lebih kurang sedikit berbanding dengan al-Maqbari.

    Kemudian terdapat bentuk riwayat Ibn Sa‘d dalam kitabnya, Tabaqat  bersumberkan Amr bin Mardas bin ‘Abd al-Rahman al-Jundi menunjukkan bahwa Abu Hurairah berkata: Nabi (s.‘a.w) berkata kepadaku, “ bentangkanlah pakaianmu.” Lalu aku membentangkannya. Kemudian baginda menceritakan kepadaku sepanjang hari. Kemudian aku membungkuskan pakaianku ke arah dadaku and aku tidak lagi terlupa sesuatu dari kata-kata baginda. Di sini adalah wajar diperlihatkan bahwa kata-kata “ baginda menceritakan sepanjang hari “ kelihatan hanya dalam bentuk riwayat ini dan tidak ada dalam riwayat-riwayat yang lain.

    Kitab al-Isabah oleh Ibn hajar mengandungi suatu lagi bentuk riwayat hadith bersama dengan yang lain dan menunjukkan bahwa Abu Hurairah pergi menemui Nabi (s.‘a.w) sewaktu baginda sakit. Lalu dia memberikan salam kepadanya ketika dia sedang berdiri dan Nabi (s.‘a.w) bersandar ke dada ‘Ali (‘a.s) manakala tangan ‘Ali (‘a.s) di dada Rasulullah (s.‘a.w) mengurut-urutkannya. Kaki Nabi (s.‘a.w) diluruskan. Nabi (s.‘a.w)  berkata: “ Datang ke mari, wahai Abu Hurairah.” Dia pergi lebih dekat. Kata baginda: “ Datanglah lebih hampir, wahai Abu Hurairah.” Dia datang lebih dekat. Baginda sekali lagi berkata: “ Dekatlah lagi wahai Abu Hurairah.” Dia pun mendekatkan diri lebih hampir sehingga jarinya mencecah jari Nabi (s.‘a.w). Kemudian baginda berkata: “ Duduklah.” Lalu dia pun duduk. Kemudian baginda berkata: “ Letakkanlah pakaianmu di sebelah berdekatan denganku.” Abu Hurairah memegang pakaiannya, membukanya dan membentangkannya dekat Nabi (s.‘a.w). Nabi (s.‘a.w) kemudian berkata kepadanya: “ Haruskah aku memberitahumu cara bertindak yang kamu tidak patut tinggalkan selama hayatmu.” Katanya: “ Silalah beritahu.” Kemudian baginda berkata: “ Kamu hendaklah mandi pada hari Jumaat dan hendaklah melakukannya pada awal pagi dan tidak melibatkan diri dalam perkara-perkara yang sia-sia., dan aku nasihatkan kepadamu berpuasa selama 3 hari setiap bulan karena ia seolah-olah seperti berpuasa selama sepanjang tahun. Dan aku nasihatkanmu mendirikan dua raka‘at salat subuh, tidak sekali-kali meninggalkannya, walaupun kamu mendirikan salat sepanjang malam, karena salat dua raka‘at itu mengandungi banyak keistimewaan. Nabi (s.‘a.w) mengulanginya sebanyak 3 kali, kemudian baginda berkata: “ Bungkuslah pakaianmu.” Lalu aku membungkusnya ke dadaku.

    Menurut Abu Hurairah seperti dipetik oleh Ibn Hajar dalam kitabnya, al-Isabah, 
Abu Ya‘la turut menceritakan menerusi al-Walid bin Jami‘ bahwa Abu Hurairah meriwayatkan: Aku mengadu kepada Nabi (s.‘a.w) mengenai kelemahan ingatanku sewaktu baginda berkata: “ Bukalah kain selimutmu.” Kemudian dia membukanya sambil berkata: “Sekarang gulungkanlah ia ke dadamu.” Aku lalu menggulungkannya. Selepas dari itu, aku tidak pernah lupa mana-mana hadith.

    Sekali lagi, menurut Ibn Hajar dalam al-Isabahnya, Abu Ya‘la seterusnya menceritakan menerusi Yunus bin ‘Ubaid dari Hasan al-basri dari Abu Hurairah yang meriwayatkan bahwa Nabi (s.‘a.w)  bersabda: “ Sesiapa yang mengambil dariku suatu ayat, dua ayat atau tiga darinya agar mengikat mereka dan menyebarkannya.” Justeru, aku membentangkan kain selimutku di hadapan baginda sementara aku bercakap. Seterusnya aku menggulungkannya. Aku harap aku tidak melupakan sesuatu dari kata-kata baginda.

    Imam Ahmad juga turut meriwayatkan bentuk hadith ini.

    Abu Nu‘aim juga dalam kitabnya, Hilyat al-Awliya’,  diceritakan dari ‘Abdullah bin Abi Yahya dari Sa‘id bin Abi Hind dari Abu Hurairah yang meriwayatkan bahwa Nabi (s.‘a.w) bersabda: “ Wahai Abu Hurairah, tidak mahukan engkau menanyakanku perkara-perkara penting di bahuku dan berharga yang rakan-rakanmu tanyakan. Aku berkata: “ Aku mohon kepadamu supaya mengajarkan kami apa yang Allah telah memberitahumu.” Kemudian aku mengeluarkan pakaian berwarna di belakangku dan membentangkannya di antara diriku dan dirinya. Ia seperti aku masih melihat Kemudian Nabi (s.‘a.w) menceritakan kepadaku sedangkan aku mendengarnya dengan penuh perhatian. Kemudian baginda menyuruhku mengambil balik pakaian dan menggulungkannya ke arah diriku. Sebagai kesudahannya, aku tidak pernah terlupa lagi suatu patah perkataan dari apa yang disampaikan kepadaku.

    Kini, sesiapa yang mengkaji hadith ini dalam segala bentuknya sebagai diriwayatkan menerusi pelbagai rangkaian perawinya, dia akan mendapati perbezaan dalam perkataan dan juga dari segi logik dengan setiap sumber perawi dan melihat bahwa tiada perkataan mahupun logik membawanya kepada satu matlamat bahkan ia tidak juga menuju ke arah yang sama karena setiap satu darinya bercanggah di antara satu sama lain. Oleh yang demikian, hadith ini dengan jelas bukanlah hadith yang sahih.

    Keenam, Abu Hurairah berkata: Lalu aku membentangkan pakaian bercorakku itu, karena aku tidak ada pakaian yang lain. Ini bermaksud bahwa dia berkeadaan telanjang. Kedudukan ini sudah tentu tidak dapat diterima. Untuk menyelesaikan kedudukan ini, al-Qastalani dan Zakariyya al-Ansari dalam syarah-syarah mereka cuba mentafsirkannya dengan maksud dia membentangkan sebahagian saja dari pakaian itu. Bagaimanapun, ini tidak dapat disokong oleh kata-kata Abu Hurairah sendiri.

    Ketujuh, dalam kandungan hadith itu sendiri cerita yang digambarkan dalam hadith yang sedang dibincangkan menunjukkan cerita dongeng pada umumnya direka oleh seseorang yang tidak berilmu tinggi dan ia tidaklah sama sekali berbeza dari ciptaan para penjahat. Dalam mana-mana keadaan, ia sama sekali tidak boleh diambil kira sebagai mu‘jizat Rasulullah (s.‘a.w).

0 komentar:

Posting Komentar