Google info dan internet online

19 Mei 2012

Abu Hurairah mengaitkan cerita atau riwayatnya sendiri kepada Nabi (s.‘a.w) postheadericon

Diposting oleh cerdas alquran | Pada 19.13

Adalah menjadi kebiasaan bagi Abu Hurairah mengaitkan (hadith) secara langsung kepada Nabi (s.‘a.w), walaupun hadith-hadith itu diterimanya dari orang perantara. Dengan kata-kata lain, dia tidak membuat sebarang perbezaan di antara apa yang dia dengari sendiri dari Nabi (s.‘a.w) secara langsung dan apa yang dia perolehi menerusi orang lain. Contoh, riwayatnya bahwa Nabi (s.‘a.w) berkata kepada bapa saudaranya, Abu Talib: “ Ucapkanlah La ilaha illa Allah, aku akan menjadi saksi untukmu pada Hari Qiyamah….” dan sebagainya. Sudah diketahui umum bahwa Abu Talib wafat 20 tahun sebelum Abu Hurairah datang ke kota Hijaz dari tanah tumpah darahnya, Yaman dan karena itu, tidak timbul persoalan dia mendengarnya secara langsung dari Nabi (s.‘a.w) yang menyebutkan demikian tetapi Abu Hurairah meriwayatkannya tanpa menyebutkan nama orang tengah atau perantara seolah–olah dia melihat dengan matanya sendiri bahwa Nabi (s.‘a.w) berbicara dengan bapa saudaranya, Abu Talib dan benar-benar mendengar kata-katanya.

    Sekali lagi, Abu Hurairah menceritakan bahwa ketika ayat “ wa andhir ‘asyirata-ka’l-aqrabin,” diwahyukan, Nabi (s.‘a.w) berdiri di antara bapa-bapa saudaranya sambil berkata: “Wahai kaum Quraisy, aku tidak dapat menyelamatkanmu dari Allah….” Di sini sekali lagi, semua ulama bersepakat bahwa ayat ini diwahyukan semasa zaman-zaman awal kenabian baginda (s.‘a.w) bahkan sebelum ia diketahui umum sementara pada masa itu, Abu Hurairah masih lagi berada di Yaman sebagai seorang bukan Islam karena dia hanya datang ke kota Hijaz kira-kira 20 tahun selepas penurunan wahyu tersebut. Bagaimana mungkin dia boleh mendakwa: Nabi (s.‘a.w) berdiri sambil berkata,” seolah-olah dia hadir dalam peristiwa itu dan melihat semua yang berlaku dalam kejadian itu dengan matanya sendiri dan mendengar semua perkataan itu dengan telinganya ketika ia ditutur atau diucapkan di tempat itu.

    Demikianlah juga, katanya: Nabi (s.‘a.w) selalu berdoa dalam qunutnya: “ Ya Allah, ampunilah Salma bin Hisyam; Ya Allah ampunilah Walid bin Walid; Ya Allah ampunilah ‘Ayyasy bin Abi Rabi‘ah; Ya Allah ampunilah orang-orang mu’min yang lemah (yang orang-oang kafir dapat tawan kembali dari berhijrah….)”

    Tokoh ulama semasa yang terulung pada zaman ini, Muhammad Amin al-Misri telah juga merujuk kepada sikap dan tabiat Abu Hurairah apabila dia menyebutkan: Adalah jelas bahwa Abu Hurairah tidak hanya membataskan dirinya kepada apa yang dia sendiri dengar dari Nabi (s.‘a.w) bahkan dia juga menceritakan dari Nabi (s.‘a.w) apa yang dia terima menerusi orang lain.

    Hakikatnya, Abu Hurairah sendiri mengakui kenyataan ini. Contoh, ketika dia menceritakan hadith yang dikatakan dari Nabi (s.‘a.w) bahwa seseorang yang berada dalam keadaan berjanabah (berhadath besar) pada waktu subuh tidak harus berpuasa, dan ‘A’isyah serta Umm Salmah menafikannya, dia mengembalikan hadith itu sebaliknya kepada Fadl bin ‘Abbas dengan mengatakan bahwa dia tidak mendengarnya dari Nabi (s.‘a.w), tetapi dari Fadl bin ‘Abbas. Apakah hadith ini palsu atau sahih, kenyataannya adalah bahwa Abu Hurairah di sini dengan sendirinya mengakui bahwa  dia memperolehinya dari Fadl dan bukannya secara langsung dari Nabi (s.‘a.w).

    Mungkin dapat dihujahkan untuk menyokong Abu Hurairah bahwa ia tidak memberikan kesan kepada kesahihan hadith itu sekiranya ia diterima walaupun tidak langsung dari Nabi (s.‘a.w) , tetapi menerusi seorang perawi selama mana diterangkan bersumber dari Nabi (s.‘a.w) pada akhirnya. Ini bukanlah alasan yang kukuh karena kaedah ilmu hadith menghubungkan kepada kesahihan, kejujuran dan kesepaduan semua perawi yang mungkin terlibat dalam periwayatan hadith dari Nabi (s.‘a.w) hingga ke peringkat terakhir sewaktu ia dicatatkan. Oleh yang demikian, adalah menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang (perawi) yang tidak menerima hadith itu secara langsung dari Nabi (s.‘a.w) menyatakan nama perawi yang menerimanya secara langsung dari Nabi (s.‘a.w) dan juga nama-nama semua orang yang menjadi perawi hingga kepada perawi yang terakhir. Ini merupakan suatu kewajiban bertujuan untuk menguji kesahihan hadith itu menerusi penglibatan hanya para perawi yang benar dan boleh dipercayai, dan hal ini tidak mungkin berlaku sekiranya nama walaupun salah seorang dari perantara (orang tengah) tidak diketahui. Kesimpulan perbincangan ini menunjukkan bahwa oleh karena Abu Hurairah selalu membuangkan nama-nama perawi yang menjadi perantaraan dalam kebanyakan hadith yang diriwayatkannya menyebabkan ia boleh dipersoalkan kecuali hadith-hadith itu diakui oleh orang lain menerusi para perawi yang tidak terputus, yang kesahihannya dapat diperiksa dan diuji. Oleh karena itu, hadith-hadith yang diriwayatkan Abu Hurairah sendirian gagal diterima sebagai hadith yang sahih dan boleh dipercayai

0 komentar:

Posting Komentar