19 Mei 2012
Browse » Home »
abu hurairah
» Apabila sesebuah hadith ditolak di hadapannya, dia mengatakan bahwa dia mendengarnya dari Fadl bin ‘Abbas, bukannya dari Nabi (s.‘a.w)
Apabila sesebuah hadith ditolak di hadapannya, dia mengatakan bahwa dia mendengarnya dari Fadl bin ‘Abbas, bukannya dari Nabi (s.‘a.w)
Diposting oleh
cerdas alquran | Pada 19.01
Muslim telah mengambil riwayat menerusi ‘Abd al-Malik bin Abu Bakr bin ‘Abd al-Rahman bahwa Abu Bakr menceritakan: Aku terdengar Abu Hurairah menceritakan bahwa sesiapa yang berada dalam keadaan berhadath besar (seperti junub) tidak harus berpuasa. Aku menyampaikannya kepada ‘Abd al-Rahman bin Hars. Dia tidak bersetuju dan tidak dapat menerimanya lalu ‘Abd al-Rahman dan aku bersama-sama menemui ‘A’isyah dan Umm Salamah. ‘Abd al-Rahman menanyakan perkara itu kepada kedua-duanya, lalu mereka mengatakan bahwa ketika Rasulullah (s.‘a.w) berada dalam keadaan berhadath besar (seperti junub) menjelang subuh, disebabkan perkara lain dari tidur, biasanya baginda berpuasa. Kemudian, kami menemui Marwan yang merupakan gabenor Mu‘awiyah di Madinah.
‘Abd al-Rahman menyebutkan perkara itu kepadanya. Marwan berkata: Kenapa kamu tidak pergi kepada Abu Hurairah dan merujuk kepadanya tentang apa yang diceritakan. Llau kami pun pergi berjumpa Abu Hurairah. ‘Abd al-Rahman menceritakan perkara itu kepadanya lalu dia berkata: Adakah kedua-dua wanita itu memberitahumu seperti itu. Katanya: Ya. Abu Hurairah berkata: Mereka lebih mengetahui. Kemudian Abu Hurairah berdalih dengan mengatakan riwayat itu diambilnya dari Fadl bin ‘Abbas yang mengatakan: Aku mendengarnya dari Fadl bin ‘Abbas dan bukannya dari Rasulullah (s.‘a.w).
Sudah diketahui umum bahwa Fadl bin ‘Abbas wafat semasa zaman pemerintahan Abu Bakr sedangkan perkara ini berkaitan dengan zaman Mu‘awiyah. Bagaimana mungkin Abu Hurairah boleh mengatakan: “ Aku dengarinya dari Fadl bin ‘Abbas dan bukannya dari Nabi?” Sekiranya Fadl bin ‘Abbas masih hidup, tentulah Abu Hurairah tidak dapat mengaitkan perkara itu dengannya sama sekali.
Wajar ditambah di sini bahwa Nabi (s.‘a.w) terlalu mulia, agung dan sempurna berbanding dengan tuduhan dan tohmahan yang dilempari orang ramai terhadapnya. Mustahil Nabi (s.‘a.w) berada dalam keadaan berhadath besar (seperti junub) menjelang subuh, khususnya semasa hari-hari berpuasa, apatah lagi berjanabah waktu malam tidak berlaku kepada Nabi karena itu adalah perbuatan syaitan yang tidak mampu menghasut manusia-manusia suci tersebut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar