19 Mei 2012
Browse » Home »
abu hurairah
» Orang berdosa bertaubat kepada Allah kemudian kembali melakukan dosa berulang kali lalu Allah mengatakan kepadanya: “ Buatlah apa yang kamu suka, karena Aku telah mengampunimu
Orang berdosa bertaubat kepada Allah kemudian kembali melakukan dosa berulang kali lalu Allah mengatakan kepadanya: “ Buatlah apa yang kamu suka, karena Aku telah mengampunimu
Diposting oleh
cerdas alquran | Pada 19.12
Menurut Muslim, Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi (s.‘a.w) bahwa:
“ Seorang telah melakukan dosa, lalu mengatakan: Ya Allah, ampunilah dosaku. Allah berkata: Hamba-Ku melakukan dosa lalu kemudian menyedari bahwa dia mempunyai Tuhan Yang Maha Mengampuni dosanya dan menghitung dosanya. Kemudian orang itu kembali (pada asalnya) dan melakukan dosa sekali lagi. Lalu dia berkata: Ya Tuhanku, ampunilah dosaku. Allah berkata: Hamba-Ku melakukan dosa dan memperhitungkannya. Kemudian dia sekali lagi kembali (kepada asalnya) dan membuat dosa lagi sambil berkata: Ya Tuhanku, ampunilah dosaku. Allah berkata: Hamba-Ku melakukan dosa dan dia menyedari bahwa dia mempunyai Tuhan Yang Maha Mengampuni dosa dan memperhitungkan dosanya. Lakukanlah apa saja yang kamu kehendaki karena Aku telah mengampunimu.”
Kritikan
Hadith ini seperti yang terdahulu dari segi logik, tujuan dan stailnya, merupakan salah satu yang dikemukakan oleh Abu Hurairah dari cerita-cerita khayalannya, seperti cerita-cerita yang pernah disampaikan wanita tua, tukang-tukang cerita di mana dia bertujuan untuk menunjukkan kebesaran sifat Maha Pengampun Allah, sedangkan hakikatnya adalah bahwa pengampunan Allah dan rahmat-Nya amat luas sehingga memerlukan mana-mana bentuk cerita dongeng untuk mengesahkan kepercayaan kepadanya. Pada hakikatnya, ia telah diperkukuhkan dengan akal dan juga menerusi ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith yang telah diakui umum bukan saja di kalangan umat Islam tetapi juga semua agama yang lain.
Jelaslah, Allah tidak sama sekali menghendaki manusia melakukan apa yang dilarang. Bagaimana mungkin seseorang boleh melakukan dosa, kemudian memohon keampunan, seklai lagi melakukan dosa dan kemudian memohon keampunan atas perlakuan dosanya dan mengulanginya semula sehingga akhirnya Allah membenarkannya melakukan dosa karena Dia (Allah) telah mengampuninya. Apakah pula perbuatannya sehingga membolehkan seseorang diandaikan layak untuk mendapat keizinan untuk melakukan dosa sedangkan telah diketahui bahwa bahkan para nabi, rasul dan wali tidak diberikan kelonggaran seperti itu.
Banyak sekali cerita-cerita khayalan para penzalim yang disampaikan oleh Abu Hurairah untuk mengurangkan kadar perbuatan jenayah mereka sebagai contoh, dia mengatakan:
“ Aku dengar Nabi (s.‘a.w) mengatakan: Malaikat maut mendekati seorang yang hampir mati tetapi tidak menemui sebarang kebaikan pada dirinya. Dia membuka hatinya, tetapi di situ juga dia tidak temui sebarang kebaikan. Lalu dia membuka tulang rahangnya dan mendapati tepi lidah menyentuh bahagian atas rahangnya mengucapkan La ilaha illa Allah. Lalu Allah mengampuninya.”
Di antara riwayat-riwayat yang mengandungi cacian dan fitnah manusia ini dapatlah dikemukakan seperti berikut:
Salat telah disiapkan dan saf-saf disediakan. Apabila Nabi (s.‘a.w) berdiri di atas kain sajdahnya, dia teringat bahwa dia dalam keadaan junub (yang memerlukan mandi wajib).
Kita hanya dapat melepaskan diri dari tuduhan-tuduhan seperti itu terhadap Nabi (s.‘a.w) karena telah diketahui umum bahwa dia (Nabi) sentiasa memelihara diri dalam keadaan bersih dan suci pada setiap masa, yaitu dengan berwudu’ dan pada hakikatnya para nabi terlepas sama sekali dari kekotoran seperti itu.
Dalam suasana yang sama adalah riwayatnya yang menafikan kemuliaan Nabi (s.‘a.w) ke atas Musa atau hadithnya bahwa sesiapa saja mengatakan bahwa Nabi (s.‘a.w) lebih utama dan mulia daripada Yunus bin Matta adalah pendusta, sedangkan seluruh umat Islam bersepakat bahwa Nabi (s.‘a.w) merupakan manusia paling utama dan mulia daripada sekalian nabi, sebagaimana diperkukuhkan dengan hujah-hujah yang jelas, sahih dan benar.
Demikian juga tentang riwayatnya menyebutkan bahwa tiada perbuatan seseorang yang menyebabkannya masuk neraka. Orang ramai berkata: “ Kamu juga tidak termasuk, wahai Nabi. Katanya: Aku juga (tidak termasuk).
Inilah batasan menentang ayat-ayat al-Qur’an sebagai contohnya:
“ Inilah ganjaran pahala bagimu atas perbuatan yang kamu lakukan.”
Manakala hadith ini: Tiada nabi diutuskan melainkan dia biasanya memberikan binatang makan rumput.”
Kenyataan itu sudah melampaui batas dengan menjatuhkan kedudukan para nabi.
Hadith ini pula menyebutkan: Nabi Ibrahim dikhitankan selepas melangkaui usia 80 tahun.
Hadith ini pula menyebutkan: (Nabi) ‘Isa melihat seseorang mencuri lalu berkata kepadanya, Adakah kamu mencuri? Katanya: Tidak, demi Dia, tiada tuhan melainkan Dia. Justeru dia mengakui dan mengesahkannya dan menafikan apa yang dilihatnya itu.
Hadith ini pula: Apabila Allah menciptakan Adam, Dia menggosok belakangnya dan dari situ keluarlah setiap ruh yang akan diciptakan sehingga ke hari Qiyamah seperti debu, kemudian Dia menjadikan kilauan cahaya di antara kedua mata setiap orang kemudian Dia meletakkannya di hadapan Adam. Adam bertanya: Siapakah mereka, Ya Tuhanku.” Allah menjawab: Keturunanmu. Di antara mereka, Adam perhatikan seorang yang mempunyai kilauan cahaya antara dua matanya yang menghairankannya, lalu dia berkata: Siapakah dia? Allah berkata: Inilah anakmu, Dawud. Adam berkata: Berapakah usia yang Kamu anugerahkan kepadanya? Allah berkata: 60 tahun. Katanya: Ya Tuhanku, tambahilah 40 tahun daripada usiaku kepadanya, menjadikan usianya 100 tahun. Allah berkata: Apabila ia dicatat dan dicapkan, ia tidak dapat diubah lagi. Kini, apabila usia Adam sudah sampai, malaikat maut datang kepadanya untuk mematikannya, Adam berkata: “ Bukankah 40 tahun dari usiaku masih ada.” Malaikat maut berkata kepadanya: “Bukankah kamu telah memberikannya kepada anakmu, Dawud?” Lantas, Adam menyangkalnya dan begitulah juga keturunannya.
Demikianlah hadithnya yang hampir sama dengan dia menunjukkan keadaan luarbiasa, di antara contoh-contohnya di sini sebelum menutup perbincangan ini sebagai tambahan kepada apa yang telah pun diperlihatkan dalam halaman-halaman yang lebih awal:
Pertama, hadithnya menunjukkan bahwa berdasarkan percanggahannya sendiri, dia bersama-sama dengan Ala’ bin al-Hadrami apabila dia diutus dalam suatu ekspedisi ketenteraan seramai 4000 orang menuju ke arah Bahrain. Lalu mereka berjalan sehingga sampai ke sebuah teluk yang tidak pernah dilalui mahupun direntasi. Kemudian Ala’ memegang tali kekang kudanya dan melintasi permukaan air sementara tenteranya mengikutinya. Abu Hurairah menambah: “ Demi Allah, tiada kaki, kasut mahupun kuku yang basah.”
Kritikan
Sekiranya hadith ini benar, setiap orang dalam kumpulan tentera yang mengandungi 4000 orang sahabat akan menceritakannya sebagai suatu hadith yang tampak begitu jelas dengan para perawi (sanad) yang bersambung-sambung. Tetapi pada hakikatnya ia tidak mempunyai kekuatan sanad kecuali kepada Abu Hurairah saja. Apalah malangnya!
Kedua, hadith tentang Mizwad (bekas bekalan). Abu Hurairah berkata: Aku menghadapi tiga nasib malang yang tiada taranya dalam Islam. Kematian Nabi (s.‘a.w), akulah sahabatnya yang rendah diri, pembunuhan ‘Uthman dan kemudian kehilangan mizwad. Orang ramai bertanya kepadanya apa yang dimaksudkan mizwad. Katanya: “ Kami berada bersama-sama Nabi (s.‘a.w) dalam suatu perjalanan apabila baginda bertanyakanku: Adakah kamu mempunyai sesuatu?” Aku berkata: “ Buah tamar dalam bekas bekalanku.” Dia berkata: “ Keluarkanlah.” Aku keluarkan tamar itu dan menyerahkannya kepadanya. Dia menyentuhnya dan berdoa dengannya sambil berkata: “ Bilang sampai sepuluh.” Aku bilang sampai sepuluh dan mereka makan sehingga mereka kekenyangan. Selepas itu, perkara yang sama berlaku sehingga seluruh tentera dapat makan dan buah tamar itu tetap bersama denganku dalam bekas bekalanku. Kemudian dia berkata: “ Wahai Abu Hurairah, bila saja kamu ingin makan sesuatu darinya, letakkanlah ia dalam tanganmu dan janganlah ragu-ragu.” Lalu, aku makan darinya sepanjang hayat Nabi (s.‘a.w), sepanjang hayat Abu Bakr, sepanjang hayat ‘Umar, dan sepanjang hayat ‘Uthman, namun sebaik saja ‘Uthman terbunuh aku telah kehilangan apa yang ada di tanganku dan juga bekas bekalanku. Patutkah aku memberitahumu berapa banyak aku makan darinya? Aku makan darinya sebanyak 200 muatan (unta)!”
Kritikan
Tidak ragu-ragu lagi bahwa Nabi (s.‘a.w) biasanya memberi makan sejumlah besar tetamu dari bekalan yang sedikit dalam beberapa kejadian, dan ia dianggap sebagai suatu mu‘jizat dan bukti perutusannya. Namun begitu, hadith ini secara khusus merupakan ciptaan Abu Hurairah sebagai suatu cara untuk memberikan sumbangan untuk kepentingan Bani Umaiyyah dengan mengada-adakan kegemparan tentang pembunuhan ‘Uthman dengan cara memperlihatkan pakaiannya yang bersalut darah dan jari jemari tangan isterinya yang terpotong, dan dengan cara itu, menyebabkan orang ramai menangisi dan meratapi kematiannya.
Abu Hurairah kelihatan memiliki sebuah bekas yang jauh lebih besar daripada mizwad (bekas bekalan)nya, yang dengannya dia dapat mengeluarkan hadith dalam apa jua corak, teks atau bentuk yang dia sukai, bila saja dia kehendaki dan dalam keadaan bagaimana dia citrakan karena kerapkali apabila dia meriwayatkan sesuatu dia ditanya: “ Adakah kamu mendengarnya sendiri dari Nabi (s.‘a.w)?” dan dia akan menjawab: “ Tidak, tetapi ia adalah dari bekas Abu Hurairah.” Sudah jelas ketakjuban Abu Hurairah adalah terlalu banyak untuk dapat dimuatkan dalam satu jilid
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar