Google info dan internet online

19 Mei 2012

Penolakan hadith-hadith Abu Hurairah oleh tokoh-tokoh terawal postheadericon

Diposting oleh cerdas alquran | Pada 19.17

Pada masa Abu Hurairah masih hidup itu sendiri, ramai orang menolak dan membenci cerita atau riwayatnya karena dia menceritakannya dalam jumlah yang sangat besar dan telah menerimapakai gaya atau stail rekaannya sendiri yang agak aneh, yang menimbulkan keraguan dalam pemikiran orang ramai dan mereka enggan menerima hadith tersebut, dari kedua-dua aspek, kualiti dan bilangan (kuantiti).

    Abu Hurairah sendiri berkata dalam nada sesal dan tidak berdaya: “ Orang ramai mengatakan bahwa Abu Hurairah menceritakan hadith yang terlalu banyak, namun Allah akan ditemui jua. Mereka juga mengatakan bahwa Muhajirin dan Ansar tidak meriwayatkan hadith sedemikian banyak.” Di sini dia dengan jelas menunjukkan bahwa kedua-dua aspek, bilangan dan kualiti riwayatnya tidak disukai orang ramai. Dia juga turut memberikan amaran kepada mereka dengan Allah dan Hari Pengadilan ketika mereka semua akan menemui-Nya. Dalam kata-katanya yang lain, dia dengan terang mengatakan: “ Namun mengenai dua baris ayat dalam al-Qur’an, aku tentu tidak meriwayatkan sesuatu kepadamu sama sekali, yaitu:

“ Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat.” 

Ia telah diriwayatkan oleh kedua-dua tokoh, al-Bukhari dan Muslim.masing-masing dalam kitab Sahih mereka.

    Hujah yang sama telah diterangkan lebih lanjut oleh Abu Zarrin yang mengatakan: Abu Hurairah datang kepada kami, sambil memukul-mukul dahinya dengan tangannya seraya berkata: “ Lihatlah di sini, adakah kamu, orang ramai bermaksud mengatakan bahwa aku berdusta dengan nama Rasulullah (s.‘a.w) bertujuan memberikan petunjuk kepadamu sedangkan aku sendiri tidak mendapat petunjuk.”

    Ketika Abu Hurairah datang ke ‘Iraq bersama-sama Mu‘awiyah dan melihat sebilangan besar orang yang datang menyambutnya, dia pun berlutut di Masjid Kufah, kemudian batuk beberapa kali  agar orang ramai memberikan perhatian kepadanya dan apabila semua orang berkumpul di sekelilingnya, dia mengungkapkan kepada mereka: “ Wahai penduduk ‘Iraq, adakah kamu aku berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya (s.‘a.w) dan menjadikan diriku layak dihumbankan ke neraka…” dan kemudian dia terus melemparkan segala bentuk tuduhan dan kesalahan ke atas ‘Ali (‘a.s) hanya semata-mata untuk menyenangkan tuannya dan juga musuh-musuh ‘Ali (‘a.s) dengan kata-kata yang penuh dengan pendustaan dan rekaan. 

    Ibn Qutaibah telah mencatatkan dalam kitabnya, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadith  bahwa Nizam mengatakan bahwa ‘Umar, ‘Uthman, ‘Ali (‘a.s) dan ‘A’isyah seringkali mendustakan Abu Hurairah. Bahkan ketika cuba mendebatkan Nizam dan mempertahankan Abu Hurairah, Ibn Qutaibah mengakui seperti berikut:  Berhubung dengan keterangan Nizam bahwa ‘Umar, ‘Uthman, ‘Ali (‘a.s) dan ‘A’isyah seringkali mengenepikan Abu Hurairah, hakikatnya adalah bahwa Abu Hurairah berada dalam kumpulan bersama-sama Nabi (s.‘a.w) untuk hanya 3 tahun saja dan orang ramai telah meriwayatkan begitu banyak cerita darinya. Oleh yang demikian, apabila dia menceritakan lebih banyak daripada apa yang diceritakan berbanding dengan para sahabat yang lain termasuklah sahabat-sahabat besar atau sahabat-sahabat yang terkemuka dalam Islam, mereka menyalahkannya dan mendustakannya dengan mengatakan “ bagaimana kamu mendengar semuanya itu secara bersendirian, dan siapakah lagi yang mendengarnya bersama-samamu?” ‘A’isyah merupakan tokoh yang paling keras mendustakannya karena hayatnya yang lebih panjang seperti hayatnya juga.

    ‘Umar juga turut bersikap keras terhadap sesiapa saja yang banyak meriwayat tanpa mendapat pengukuhan dan pengesahan terhadap riwayat itu…” Dengan cara ini jugalah, dia (Ibn Qutaibah) mengakui keterangan Nizam itu. Hanya kebenaran jualah yang pasti menyingkapkan kebenaran pada akhirnya.

    Para sahabat besar dan bahkan orang-orang selepas mereka tetap mendustakan Abu Hurairah sepanjang hayat mereka dan tidak teragak-agak  melakukannya, tetapi kebanyakan manusia muslim yang datang selepas mereka mulai mengelakkan diri dari mendustakannya karena mereka berpegang kepada kepercayaan tentang “ semua sahabat adalah adil,” pada umumnya dan enggan melakukan penyelidikan atau pengkajian terhadap akhlak mereka sebagai suatu prinsip asas. Dengan cara ini, mereka meletakkan pelbagai bentuk halangan atau rintangan kepada akal dan pemikiran mereka, membutakan mata dan menutupi telinga mereka sama seperti yang digambarkan dalam ayat al-Qur’an:

“ Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).” 

    Walau bagaimanapun, para Imam di kalangan Ahl al-Bait (‘a.s) yaitu kaum kerabat Rasulullah (s.‘a.w)  menilai semua sahabat berdasarkan penilaian sahabat terhadap diri mereka sendiri. Oleh itu, berhubung dengan Abu Hurairah, pendapat mereka adalah sama seperti ‘Ali (‘a.s), ‘Umar, ‘Uthman dan ‘A’isyah sebutkan di atas, dan semua pengikut mereka yaitu golongan Syi‘ah sama ada yang awal atau yang akhir sentiasa mengikuti mereka dalam perkara ini mulai pada zaman Amir al-Mu’minin ‘Ali (‘a.s) hingga ke hari ini.

    Berhubung dengan pendapat tokoh-tokoh lain, pandangan beberapa orang tokoh terkemuka dicatatkan seperti di bawah:

    Imam Abu Ja‘far Askafi mengatakan: Abu Hurairah dianggap sebagai seorang gila oleh para ketua kami dan tidak boleh diterima sebagai perawi. Beliau juga mengatakan: Khalifah ‘Umar memukulnya dengan tali cemeti sambil berkata “ kamu menyampaikan riwayat yang keterlaluan banyaknya dari Nabi (s.‘a.w) dan aku pasti akan memerangimu karena kamu melakukan penddustaan terhadap Nabi (s.‘a.w).”

    Sufyan al-Thauri menceritakan dari Mansur, dari Ibrahim al-Taimi yang mengatakan: Orang ramai tidak mengakui hadith-hadith Abu Hurairah kecuali yang berkaitan dengan syurga dan neraka.

    Abu Usamah menceritakan dari A‘masy yang mengatakan: Ibrahim merupakan seorang yang boleh dipercayai dalam hadith. Justeru apabila aku mendengar hadith, aku pergi kepadanya dan menyebutkan di hadapannya. Pada suatu hari aku membawa beberapa buah hadith kepadanya yang diceritakan dari Abu Salih, seterusnya dari Abu Hurairah. Katanya: Maafkan aku dalam persoalan Abu Hurairah karena orang ramai biasanya menolak kebanyakan hadith darinya.

    Telah diceritakan dari ‘Ali (‘a.s) bahwa beliau berkata: Pembohong besar di kalangan manusia atau katanya, di kalangan manusia yang hidup terhadap Nabi (s.‘a.w) ialah Abu Hurairah al-Dusi.

    Abu Yusuf menanyakan Abu Hanifah bahwa dalam sesuatu persoalan yang kita bertembung dengan sebuah hadith dikatakan dari Nabi (s.‘a.w) tetapi berbeza sama sekali dengan pendapat kita, apakah yang harus kita lakukan terhadapnya. Katanya: “ Sekiranya ia disampaikan menerusi sanad (perawi) yang benar, kita hendaklah mengamalkannya dan mengenepikan pendapat kita.” Kemudian aku berkata: “ Apakah pula katamu mengenai Abu Bakr dan ‘Umar.” Dia berkata: “ Dalam urusan mengenai mereka, aku menegahmu dari memberikan pendapat.” Aku berkata lagi: “ ‘Ali (‘a.s) dan  ‘Uthman pula.” Dia berkata: “ Kedua-duanya sama saja.” Apabila dia melihat bahwa aku menamakan para sahabat seorang demi seorang, lalu dia berkata: “ Semua sahabat adalah adil melainkan beberapa orang saja,” dengan mengecualikan Abu Hurairah dan Anas bin Malik.

    Ringkasnya, sudah jelas bahwa Abu Hanifah dan para sahabat lain biasanya menolak hadith-hadith Abu Hurairah apabila ia bercanggah dengan pendapat mereka. Sebagai contoh: Abu Hurairah dan semua sahabat bersepakat bahwa salat akan terbatal disebabkan perbuatan bercakap sama ada terlupa, jahil atau karena sesuatu yang seolah-olah menunjukkan orang yang melakukannya itu sudah selesai. Madhhab Fiqh Hanafi adalah jelas dalam persoalan itu dan pendapat yang sama dipegang oleh Sufyan al-Thauri. Ini bermakna bahwa mereka tidak memberikan perhatian dan penekanan langsung kepada hadith Abu Hurairah  di mana dia menceritakan bahaw: Nabi (s.‘a.w) pada suatu ketika terlupa dan mengakhiri salat empat raka‘at dalam dua raka‘at, kemudian baginda bangkit dari tempat salatnya and pergi ke biliknya. Kemudian baginda datang kembali ketika itu ditanyakan kepadanya: “ Adakah kamu mengqasarkan (memendekkan) salat atau terlupa.” Baginda membalas: Aku tidak mengqasarkan dan bukan terlupa.” Kemudian mereka berkata: “ Tetapi kamu melakukan dua raka‘at saja bersama-sama kami.” Selesai soal-jawab di antara baginda dengan mereka, baginda percaya apa yang mereka katakan. Justeru dengan bersandarkan dua raka‘at terdahulu itu, baginda menyempurnakan salat kemudian bersujud sahwi (sujud karena terlupa).

    Atas dasar inilah, Imam Malik, Imam al-Syafi‘i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa bercakap karena terlupa semasa bersalat, atau  keyakinan orang yang menunaikan salat bahwa dia tidak terikat lagi dengannya tidak menyebabkannya terbatal. Bagimanapun, sebaliknya Abu Hanifah tidak menerima dan mengakui hadith Abu Hurairah karena dia berpendapat salat terbatal dalam keadaan seperti itu.

    Sebelum menamatkan perbincangan, kami kemukakan di bawah ini beberapa contoh yang menunjukkan kedudukan Abu Hurairah pada pandangan beberapa orang sahabat:

(1) Menurut Musaddad dalam Musnadnya, dan Ibn Hajar dalam Isabahnya, Abu Hurairah dikatakan berkata: Apabila ‘Umar mendapat tahu tentang hadith-hadithku, dia mengutus kepadaku dan berkata: Adakah kamu bersama-sama kami pada hari kami berada dalam rumah si-polan dan si-polan?” Aku berkata: “ Ya.” Dia berkata: “ Nabi (s.‘a.w) berkata pada hari itu, barang siapa berdusta terhadapku dengan sengaja, maka sedialah tempatnya di neraka.”

    Ini merupakan petunjuk paling jelas bahwa Abu Hurairah bukanlah di kalangan orang-orang yang meriwayatkan hadith semasa ‘Umar bahkan bukan pula termasuk orang-orang yang ‘Umar lihat atau dengar  meriwayatkan hadith. Namun begitu, apabila dia mendapat tahu beberapa buah hadith Abu Hurairah menerusi orang-orang lain dan keanehannya memeranjatkannya, dia menghantar peringatan kepadanya untuk memberikan amaran terhadap perkara tersebut dengan pembalasan neraka.

(2) Menurut Ibn ‘Asakir dalam kitabnya, Kanz al-‘Ummal  ‘Umar pada suatu kali memperingatkan Abu Hurairah dengan katanya: “ Hentikanlah menyampaikan riwayat dari Nabi (s.‘a.w) atau sekiranya tidak, aku akan campakkanmu ke bumi Dus atau bumi monyet.”

(3) Menurut Imam Abu Ja‘far Askafi, seperti yang telah disebutkan terdahulu, pada suatu kali ‘Umar begitu marah terhadap Abu Hurairah karena meriwayatkan hadith keterlaluan banyaknya dari Nabi (s.‘a.w) lalu memukulnya dengan tali cemetinya sambil memperingatkannya dengan kata-katanya: Kamu sudah keterlaluan, dan karena itu aku terpaksa menentangmu disebabkan pendustaanmu terhadap Nabi (s.‘a.w).

(4) ‘Umar melucutkannya dari Bahrain selepas memukulnya sehingga bahagian belakangnya berdarah dan dia mengambil balik 10 000 dirham harta Bait al-Mal darinya dan memberikan peringatan kepadanya dengan kata-kata yang kesat seperti yang diperlihatkan dalam keterangan Abu Hurairah semasa pemerintahan dua orang khalifah.
  
(5) Menurut Muslim dalam Sahihnya,   ‘Umar memukul Abu Hurairah pada masa hayat Nabi (s.‘a.w) begitu teruk sehingga jatuh terduduk.

(6) Abu Ja‘far Askafi telah menceritakan bahwa ketika ‘Ali (‘a.s) terdengar mengenai Abu Hurairah meriwayatkan hadith, beliau berkata: “ Dia manusia paling banyak berdusta,” atau katanya: “ pendusta paling besar terhadap Rasulullah (s.‘a.w) di kalangan manusia yang hidup ialah Abu Hurairah.”

(7) Abu Hurairah selalu mengatakan: “ Sahabatku menceritakan kepadaku,” atau “ aku melihat sahabatku,” atau “ sahabatku Nabi (s.‘a.w) telah berkata kepadaku.” Apabila ia disampaikan kepada ‘Ali (‘a.s), beliau berkata: “ Bilakah masanya Rasulullah (s.‘a.w)  menjadi sahabatmu, wahai Abu Hurairah?”

(8) Menurut al-Hakim dalam kitabnya, al-Mustadrak  ketika hadith-hadith Abu Hurairah sampai kepada pengetahuan ‘A’isyah, dia mengutuskan seseorang kepadanya dan berkata: “ Apalah hadith-hadith ini yang sampai kepada kami bahwa kamu menceritakan sesuatu dari Nabi (s.‘a.w). Adakah kamu mendengar lain dari apa yang kami dengar, adakah kamu melihat lain dari apa yang kami lihat?” katanya, “ Wahai Umm al-Mu’minin, cermin dan logammu menjauhkanmu  dari Nabi (s.‘a.w).”

(9) Abu Hurairah menceritakan bahwa anjing, wanita dan kaldai membatalkan salat lalu ‘A’isyah menolaknya dengan berkata: “ Aku melihat Nabi (s.‘a.w) menunaikan salat di tengah-tengah katil sedang aku pula berada di atas katil menjadi hadangan antara baginda dengan Qiblah.”

(10) Abu Hurairah menceritakan sebuah hadith yang menentang berjalan di atas sebelah kaki saja. Ketika ‘A’isyah mendapat tahu mengenainya, dia berjalan di atas sebelah kaki dan  berkata “ Aku pasti akan menentang Abu Hurairah dalam persoalan ini.”

(11) Abu Hurairah menceritakan bahwa sesiapa berada dalam keadaan berjunub menjelang subuh (dalam keadaan berhadath besar)  tidak harus berpuasa. Dia telah ditolak dalam hal ini oleh ‘A’isyah dan Umm Salmah seperti yang telah dinyatakan sebelumnya.

    Hadith ini dan dua hadith yang terdahulu boleh diperolehi di dalam Ta’wil Mukhtalaf al-Hadith oleh Ibn Qutaibah.

(12) Dua orang menemui ‘A’isyah dan berkata mengenai Abu Hurairah yang telah meriwayatkan dari Nabi (s.‘a.w) bahwa ada tanda ramalan pada wanita dan binatang, yang menjadikan ‘A’isyah hilang sabar dan berkata: “ Demi Allah yang mewahyukan al-Qur’an kepada Abu al-Qasim (s.‘a.w), barang siapa meriwayatkannya dari Rasulullah (s.‘a.w) bercakap dusta.”

(13) Pada suatu kali, Abu Hurairah duduk di sebelah tempat ‘A’isyah dan menceritakan hadith-hadith dari Nabi (s.‘a.w) ketika ‘A’isyah sedang membaca tasbih. Selepas selesai, dia mengatakan: “ Bukankah sesuatu yang menghairankan Abu Hurairah menceritakan hadith-hadith dari Nabi (s.‘a.w) dan membuatkan aku mendengarnya ketika aku pula sedang sibuk membaca Tasbih sementara dia akan pergi dari situ sebelum aku selesai. Sekiranya aku dapat menangkapnya, aku akan menafikannya.”

    Hadith ini dan hadith yang terdahulu kelihatan dalam kitab Ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadith.

(14) Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi (s.‘a.w) bersabda: “ Apabila seseorang dari kamu terjaga dari tidur, dia hendaklah membasuh kedua-dua tangannya sebelum meletakkannya ke pinggan  karena tiada seorang pun tahu ke mana kedua-dua tangan itu pergi.”

    ‘A’isyah menolak hadith ini dan  enggan menerimanya sambil berkata: “ Apakah yang boleh kita lakukan dengan mihras (bekas air yang berat dari batu yang dipotong).  Walau bagaimanapun, dapatlah diperhatikan bahwa ‘A’isyah kelihatan enggan mengakui kesahihan hadith ini karena dia tidak yakin dan percaya kepada Abu Hurairah.   

(15)  Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi (s.‘a.w): “ Sesiapa yang mengusung keranda hendaklah berwudu’.”

    Ibn ‘Abbas tidak mengakui kesahihan hadith ini sebaliknya terus menolaknya sambil berkata: “ Wudu’ tidak wajib semasa mengusung keranda kayu. Perkara ini juga telah diceritakan oleh sebilangan besar ulama yang terpercaya termasuklah juga Ahmad Amin dalam Fajr al-Islam.     

(16) Ibn ‘Umar selalu meriwayatkan bahwa Nabi (s.‘a.w) membenarkan membunuh anjing kecuali anjing yang digunakan untuk memburu, untuk mengawal kambing dan bebiri atau untuk menjaga ternakan. Disampaikan untuk perhatian Ibn ‘Umar bahwa Abu Hurairah menambah dalam hadith itu, anjing yang menjaga lading. Ibn ‘Umar tidak mengakuinya tetapi sebaliknya menolaknya dengan mengatakan: “ Abu Hurairah  mempunyai sebuah ladang, lalu dia mengadakan sedikit tambahan dalam hadith Nabi (s.‘a.w) bertujuan untuk menjaga anjingnya dan juga ladangnya sebagai mengambil sikap berhati-hati. Hadith ini kelihatan dalam kitab Muslim, Sahih. 

(17) Ibn ‘Umar tidak mengesahkan hadith Abu Hurairah mengenai landak dan terus meragui kesahihannya.

(18) Ibn ‘Umar terdengar Abu Hurairah meriwayatkan hadith bahwa barang siapa menyertai upacara pengusungan jenazah, akan mendapat satu bahagian pahala lalu menyatakan: Abu Hurairah telah menyampaikan hadith yang keterlaluan banyaknya.” Dia tidak mengakui kesahihannya sehinggalah dia menghantarkannya kepada ‘A’isyah untuk mendapatkan pandangannya.  ‘A’isyah turut meriwayatkannya dan barulah selepas itu, dia mengakui kesahihannya. Hadith ini telah dibuktikan benar. Muslim telah menyebutkannya dalam kitabnya, Sahih.

(19) Amir bin Syuraih bin Hani turut melakukan perkara yang sama apabila dia terdengar Abu Hurairah menceritakan bahwa: “ Barang siapa mengingini bertemu Allah, Allah suka bertemu dengannya, dan barang siapa membenci bertemu Allah, Allah juga tidak suka bertemu dengannya. Dia tidak mengakui kesahihan Abu Hurairah sehingga dia bertanya ‘A’isyah mengenainya dan ‘A’isyah turut meriwayatkannya sambil memahamkan maksud hadith itu kepadanya. Hadith ini juga telah dibuktikan benar.

    Berhubung dengan persoalan mengenai keadilan semua sahabat, tidak ada bukti yang menyokongnya. Bahkan para sahabat sendiri tidak menyedarinya. Malahan sekiranya diandaikan hadith itu benar, kita sebaiknya mengikutinya sebagai penghormatan kepada sahabat yang kedudukan mereka tidak diketahui, dan bukannya menghormati  sahabat yang ditolak oleh setiap orang termasuk ‘Umar, ‘Uthman, ‘Ali (‘a.s) dan ‘A’isyah atau seseorang yang patut ditentang karena ada bukti yang jelas sementara menentang Abu Hurairah pula, kita memang mempunyai bukti yang cukup jelas. 

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Mau tau kisah keteladanan Umar bin khatab dong..

Unknown mengatakan...

Mau tau kisah keteladanan Umar bin khatab dong..

Posting Komentar